Rabu, 29 Agustus 2012

"Jadi?"

Saya lagi ngedengerin lagu;






Dan tiba-tiba jari ini jadi pengen ngetik cerpen ala anak mudo jaman sekarang gitu, kekekeke. Tapi, saya mah nggak ada bakat buat nulis karya sastra tipikal seperti ini iiiiih…..Ngirimin cerita ke majalah Bobo aja nggak pernah kepilih T.T However, please enjoy :)



***


Aku duduk terdiam, penuh lebam. Bukan, bukan wajahku yang membiru, tapi hatinya yang membeku. Sekali lagi aku memastikan bahwa ini memang sebuah kenyataan yang harus diterima, sedikit air mata yang jatuh membentuk sebuah dilema.

"Jadi?" Suaranya tertahan sampai di sana.

"Jadi?" Kuulangi ucapannya yang terasa seperti bencana.

Kepulan asap masih terlihat dari permukaan secangkir coklat susu yang kupesan. Sesekali kulihat raut wajahnya pelan.

Terkadang mata kami beradu, namun semuanya kuanggap berlalu. Ini bukan hal yang aku inginkan, ataupun dia dambakan.

Entah mengapa, dahulu kami berani memulainya. Garis tak beraturan terlihat jelas di kemeja birunya. Kusadari, baru kali ini dia sama sekali tidak mempedulikan penampulannya. Aku tersenyum kecut, penuh tanda tanya. Kuambil cheesecake yang menjadi menu favoritnya. Ini kebiasaanku semenjak memutuskan untuk membagi waktuku bersamanya. Mengambil apa yang dia punya tanpa izinnya.

Beberapa kali kulihat dia memainkan tombol kamera otomatis, benda favorit yang selalu dia bawa ke mana-mana. Aku pernah tak sengaja merusak lensa fokus sang kamera, dan ini hanya membuatnya terpana. Tak ada amarah di sana. Saat itu aku berpikir, betapa beruntungnya aku bisa bersama seseorang yang sempurna.

Interior cafe yang didominasi warna putih, menambah kesunyian tersendiri. Kami tak tahu apa yang kami cari. Satu hal yang ku tau pasti adalah, dia selalu membuat imajinasiku menari-nari. Senyumnya padaku membuat semua orang terdekatnya merasa iri.

Aku berjanji, kalau air mata ini tak boleh terjatuh. Akan tetapi, melihat rahang wajah yang selalu menjadi favoritku, membuat buliran ini tidak patuh.

Jemarinya berusaha untuk meraih pipiku, namun tertahan. Dia mengambil minumanku, ditiup coklat panas itu secara perlahan. Dia hantarkan coklat susu yang sudah tidak terlalu panas itu lagi dengan penuh harapan.

"Minum dulu…." Suaranya terdengar lirih.

"Hmmm….." Tak kuasa aku menahan rasa yang sudah terlalu perih.

Kuseruput coklat susu itu. Baru kali ini kami membisu tanpa tahu waktu. Keberadaannya selalu menjadi nomor satu penghilang rasa haru.

Kami terduduk lemas di bangkunya masing-masing. Kami sudah lama saling mengenal, namun tiba-tiba harus menjadi dua orang asing.

Hari sudah petang. Sekali lagi, senyumnya menghilang. Aku menangis kencang. Kami berdua sedih bukan kepalang.

"Kenapa ya dulu kita bisa…..?" Tanyaku sambil terisak.

"Karena kita hanya manusia biasa…." Jawabnya dengan sedikit berteriak.

Kepalaku tertunduk lesu. Mulutnya kembali membisu. Kami, dua manusia lugu yang tak pernah akan tahu. Jika saja takdir Tuhan bisa membantu, sayangnya ini memang sebuah keputusan yang sudah lama menunggu.

"Tuhan kita sama." Dia membuka suara.

"Tapi cara menyembahku tidak seirama." Kalimat itu keluar dari mulutku penuh  lara.

Alunan suara gitar dari alat pengeras suara terdengar menemani. Kami dihadapkan rasa sunyi.

"Jadi?" Tanyanya sekali lagi.

"Jadi." Jawabku pasti.


***



Aaaaah tuh kan, tuh kan, pas saya baca ulang, kok jadi geleuh sendiri yaaaaah??? Emang kagak punya bakat nih T.T




1 komentar:

  1. ini dia cerpennya :D dari subuh ngubek hanya untuk menemukan cerpen ini dan ini keren banget Pea :)

    BalasHapus