Minggu, 19 Juni 2016

Zia

Heihooooo, jadi saya lagi ngapusin beberapa draft postingan yang nggak jadi saya posting gara-gara tulisannya ngambang atau ceritanya sudah keburu kurang gregetz, huhuhuhu T^T

Tapi tau-taunya saya nemu tulisan ini. Tadinya sih pengen dihapus, tapi sayang nih…Soalnya kayanya saya udah selesai jadi sebuah postingan yang lumayan utuh dibandingan sama deleted-post lainnya.

Eh, eh, eh baca ceritanya sambil dengerin lagu yang lagi terus-terus saya puter dua hari terakhir ini yaaaa….







***

Udara senja saat itu terasa terlalu dingin dibandingkan hari-hari sebelumnya. Zia menyandarkan pundaknya di tiang penyangga halte bus. Tas coklat berisikan tumpukan sketsa gambar kerja interior ruangan yang sedang dikerjakan, dipegang erat.

Sesekali tangan kanan Zia memainkan tali dari jaket kulitnya, mengecangkan ikatannya, berharap dapat membuatnya hangat sesaat. Tak seperti biasanya, bus yang Zia tumpangi belum tiba juga. Waktu sudah menunjukan hampir pukul tujuh.

Beberapa mobil tampak lalu lalang dengan cepat di hadapan Zia. Dalam rasa penuh ragu, Zia menengok ke kiri dan ke kanan. 

Terlihat seorang pemuda dan pemudi sedang berbincang penuh canda. Si pemuda melakukan beberapa tingkah laku yang menyerupai pelawak kenamaan di televisi dan si pemudi bereaksi dengan tepuk tangan diselangi derai tawa. Zia ikut menebak-nebak gerakan yang dilakukan si pemuda dalam hati. Dulu Zia pernah melakukan hal yang sama seperti pasangan tersebut. 

Suara petir dari kejauhan Zia dari lamunannya. Menurut perkiraan cuaca yang ia baca di koran tadi pagi, malam akan turun hujan dengan lebat di Ibu Kota. Pantas saja, seharian ini sinar matahari tak terlihat.

Zia kembali melirik jam tangan berwarna hitam yang sudah ia pakai setahun terakhir ini. Jarum panjangnya sudah mendekati angka tiga, berarti sudah hampir satu jam, Zia berdiri di tempat perberhentian tersebut. Dulu Zia pernah menunggu di tempat yang sama.

Seorang pria paruh baya berlari kecil ke arah Zia. Kaus bergaris hitam-putihnya tampak sedikit basah kuyup di bagian punggunnya. Celana jeans dengan warna biru pudar dipadukan dengan sneakers berwarna putih yang dikenakan pria itu mengingatkan Zia akan seseorang yang pernah ia temui dulu. Zia menghela napasnya. 

Sekali lagi terdengar suara langit bergemuruh pelan. Akankan turun hujan? Pikir Zia. Seperti waktu itu.  Zia memejamkan matanya selama satu menit sambil berbisik pelan mantra penahan hujan. Konon katanya kalau dia mengucapkan kata-kata khusus itu, awan gelap akan hilang seketika ketika dia membuka matanya, seperti yang pernah dia lakukan dulu.

Tiba-tiba pria paruh baya yang kini berdiri di dekat Zia mengeluarkan telepon selularnya, terlihat ia memeriksa jadwal kedatangan bus di halte tersebut. "Telat lagi ya?" ujarnya sambil melirik Zia. Zia menjawabnya dengan anggukan.

Semenjak perluasan jalan utama sepanjang Taman Kota, sudah hampir setahun jadwal kedatangan bus itu kacau balau. Perlu kesabaran tingkat tinggi memang, karena tak ada pilihan transportasi lain yang bisa mengantarkan Zia ke rumahnya. Setahun yang lalu Zia selalu mengeluhkan hal ini, tapi sekarang dia sudah bisa menikmatinya.

Kegiatan menunggu yang banyak dibenci orang, malah menimbulkan ketagihan tersendiri bagi Zia. Setahun yang lalu, sesaat setelah membaca pesan singkat di telepon selularnya, Zia terburu-buru datang ke taman kota dengan perasaan yang tak karuan dia berlari menembus derasnya hujan saat itu. Dengan bus yang biasa dia naiki, sambil memejamkan matanya erat, mulut Zia menggumamkan berbagai macam doa yang dia hapal, tak luput juga doa mantra penangkal hujan yang diajarkan Fio.

Sepasang pemuda dan pemudi yang duduk di kursi sebrang Zia tertawa pelan melihat keanehan Zia. Mereka saling berbisik mengomentari  tingkah laku Zia.

"Next destination, Central Park. Next destination, Central Park." Suara supir bus terdengar dari pengeras suara bus, Zia berdiri dari kursinya cepat dan mengecangkan ikatan tali jaket kulitnya. Suara petir bersaut-sautan di luar. Cerahnya langit ketika pagi sudah tidak terlihat lagi, walaupun waktu masih menunjukan pukul enam sore. Padahal biasanya matahari baru terbenam di atas pukul delapan. 

Namun, Zia tak sempat memikirkan keanehan gejala alam saat itu. Dengan tergesa Zia menuruni bus dan berlari mendekati area pusat Taman Kota.

Di taman itu, Zia mendengar teriakan banyak orang dan raungan suara sirine ambulan dan mobil polisi saling bergantian memecah kesunyian waktu senja. Asap tebal berwarna abu tua mengepul di mana-mana.

Zia melihat penjaja es krim keliling yang biasa Zia dan Fio beli terduduk lemas di salah satu kursi kayu yang sudah mulai rapuh. Zia mengikuti arah telunjuk dari si penjual eskrim itu namun setelah beberapa langkah besar, Zia tiba-tiba berhenti. 

Badan Zia menggigil kencang, bukan dikarenakan tubuhnya yang sudah separuh lebih basah kuyup, tapi lebih dikarenakan pemandangan yang ia lihat saat ini. 

Zia hanya bisa menyandarkan pundaknya kepada salah seorang polisi wanita yang berusaha mencegahnya untuk mendekati tubuh Fio menggunakan celana jeans biru lusuh dan sepatu sneakers putih yang tampak terbujur kaku di bawah tiang lampu taman.

Sudah sepuluh menit terakhir, layar telepon Zia berkedip beberapa kali pertanda sebuah pesan masuk, nama Fio tertera di sana.

'This is our anniversary. Telat lagi ya?'


***



FYI, cerita di atas dibuat ketika saya lagi sediiiiiih banget, ketika saya baru aja nyelesein nongton episode terakhirnya Daehan, Minguk, Manse di The Superman Returns T^T 





2 komentar:

  1. Mbak, kaka, teteh.. klo habis ditikung temen sendiri enaknya ngapain ya?

    BalasHapus