Besok pagi (buat saya hari itu dimulai pada saat jam 6.00 AM) saya ada ujian? Well, tapi kenapa di jam 1.50 AM ini saya masih terjaga, satu jawaban! STRESS! "Wajah boleh tertawa tetapi hati dan pikiranku merana..." Cocok buat lirik lagu dangdut nih!
Hari ini entah mengapa saya baru dikejutkan oleh sebuah kalimat, "well Viera, that's a life..." what a simple sentence but it was so meaningful for me. Sudah berapa banyak film dan novel-novel roman picisan menuliskan kalimat tersebut yang biasanya digunakan untuk mengekspresikan rasa simpati pada salah satu karakternya?
So, kenapa kok dari note tentang Hantu Puncak Datang Bulan sampai note Patah Hati Bertubi-tubi, tiba-tiba saja terselip note seperti ini??? Hmmmm, hanya ingin sedikit berbagi tentang kehidupan seorang Viera yang baru saja menganjak 22 tahun.
Pernah berpikir kenapa di umur saya yang baru 4 tahun, di mana seharusnya Mama saya mengantarkan saya ke Taman Safari dalam rangka study tour bersama teman-teman sekelas waktu TK nol kecil, namun dikarenakan pekerjaan beliau yang menumpuk, akhirnya saya hanya dititipkan kepada home teacher saya?
Di umur saya yang masih 14 tahun, di mana seharusnya saya merasakan masa-masa remaja yang konon katanya rasa senang yang kita rasakan tak akan pernah dilupakan, (well, saya nggak akan pernah melupakan masa remaja saya pastinya), saya malah terduduk lemas di perpustakaan meratapi nasib akan nilai ulangan biologi yang tak kunjung beranjak dari angka 5.
Saya masih ingat ketika umur saya masih 15 tahun, saya dicibir habis-habis-an karena keinginan saya ingin melanjutkan kuliah di bidang seni rupa dan desain, "mau jadi apa? Meningan jadi dokter? Insinyur?" Mungkin yang saya lakukan saat itu terlihat seperti menentang keinginan orang sekitar saya. Saya terlihat sebagai remaja yang rebel, ketika teman-teman saya berjibaku mengerjakan PR matematika, saya berjibaku dengan orang tua saya untuk meyakinkan mereka bahwa saya ingin melanjutkan kuliah di seni rupa.
Lalu di kala umur 16 tahun, ketika semua teman-teman saya mengunjungi acara pesta perpisahan (belom ada prompt night waktu itu), saya malah menangis meraung-raung karena perkataan salah satu teman saya yang bilang kemampuan menggambar saya "0" besar, saya duduk terdiam di depan tempat les gambar saya di Bandung sambil makan cimol, di mana ketika teman-teman saya yang lain sedang sibuk mempersiapkan diri untuk acara perpisahan di Puncak.
Lalu apa yang terjadi di umur 18 tahun? Yup, teman-teman satu unit kegiatan mahasiswa saya sibuk mengadakan sebuah acara 'senang-senang' karena salah satu kegiatan-acara mereka berlangsung dengan sukses, namun apa yang saya lakukan ketika itu? Menggunting berlembar-lembar kertas berukuran A0 menjadi ukuran A2 untuk saya kumpulkan menjadi tugas studio gambar saya, yang pada akhirnya saya hanya mendapatkan nilai yang tidak sesuai dengan harapan saya.
Di umur 20 tahun...Di mana semua teman saya bilang "Nyantai aja lah, umur lu masih 20 ngapain mau wisuda cepet-cepet..." Ketika itu saya hanya dapat tersenyum kecut, sedikit perih, karena itu lah yang memang ingin saya lakukan, menunda masa kelulusan saya, merasakan sedikit masa remaja saya yang sebelumnya terenggut sudah. Melawan keinginan keluarga besar untuk kuliah di seni rupa tampak seperti sesuatu yang sulit bagi saya, namun melawan keinginan diri sendiri ternyata jauh lebih sulit dari itu.
Umur 21, masih numpang hidup di rumah orang tua? Sebagai anak remaja yang dapat dengan mudah mendapatkan informasi kehidupan para pemuda berumur 21 tahun di luar sana, definitely itu bukan cita-cita saya. Di mana semua teman-teman saya berusaha untuk mencari pekerjaan, dengan alasan untuk mencari pengalaman, yang saya lakukan malah mendaftarkan diri untuk melanjutkan kuliah di UI dalam bidang yang jauh dari seni rupa dan desain. Orang tua saya pun hanya dapat mengelus dada, seraya berujar "Sebenernya anak ini maunya apa sih?"
And now, I am 22, living far away from my parents. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, mungkin Tuhan telah mempersiapkan diri saya untuk menjadi seperti ini semenjak umur saya masih 4 tahun, ketika saya hanya bisa mengangguk, jika ada orang yang memberikan julukan bahwa saya adalah seorang 'anak pembantu'. Karena mereka lebih sering melihat saya dengan pembantu daripada dengan kedua orang tua saya.
But, one word for all those stupid sentences above, "LA VITA!" Begitu biasanya orang italia bilang "That's a life!" What am I gonna do? Live my life, just do it! Because what happened to me now is will be something for tomorrow! I don't care it will be good or bad, karena yang punya kuasa untuk bilang itu hanya Tuhan! However, as we know, I am Viera, not God...
Thursday, February 4, 2010 at 2:35am
anak pembantu pe??
BalasHapussiapa?bi een??hehe
well..bener banget kata2 yg "However, as we know, I am Viera, not God..."
soalnya kadang orang terlalu suka pengen ikut campur siihh :P