Minggu, 25 April 2010

"Kalau emang rezeki, ya tunggu..."


Kefarat! Kefarat! Oooh Kefarat! Pulsa 5 euro saya tiba-tiba melayang begitu saja! Diambil oleh pihak provider yang tak bertanggung jawab, padahal saya tidak ikut program gratis 50 jam internet-an gratis, tapi ya sudahlah, mungkin saya harus mulai benar-benar menerapkan arti dari phrase "Kalau emang rezeki, ya nggak kemana..."

Eh, udah lama ya tidak berjumpa dengan para kelompok PENCAPIR (PENgamat CeritA-cerita PIeRah!), maklum keadaan si Lepi sempat memburuk sampai saya harus membongkar body-nya habis-habisan dan harus rela mengeluarkan uang yang setara dengan uang jajan saya selama 6 bulan di dataran Eropa ini dan LAGI-LAGI, saya harus mencamkan phrase yang satu itu, "kalau emang rezeki, ya nggak kemana..."

Memang ya si phrase itu terdengar sangat sooooo last-year! Old! Usang! Tua! Tetapi si phrase itu tampaknya selalu lekat dengan kejadian sehari-hari saya.

Waktu saya merayakan pesta ulang tahun pertama kalinya di tanah Mussolini ini. Saya dan tiga kawan saya dari Ecuador dan Polandia yang kebetulan tanggal ulang tahunnya berdekatan itu, melakukan patungan untuk berbelanja. Ketika kami sampai di supermarket terdekat, teman-teman saya itu langsung dengan cepat-tanggap-cekatan mengambil dua kerat bir! Aduuuuuuh, bukan masalah agama yang tidak membolehkan saya mengkonsumsi minuman beralkohol, tapi, buat saya mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak saya pergunakan itu: oh-sungguh-menyakitkan hati, jiwa, dan raga. Sigh, akhirnya keluarlah lembaran euro itu dengan rasa sangat terpaksa. Dengan muka berlipat dua puluh dua (sesuai dengan umur saya yang sekarang), saya pun menarik nafas kecewa seraya berujar, "kalau emang rezeki, ya nggak kemana..."

Dan, hey! Tau nggak? Waktu saya ulang tahun, saya mendapatkan hadiah dari seorang teman saya, sejumlah uang yang lebih dari uang yang saya keluarkan ketika saya berbelanja bir sebelumnya! Tuh kan, "kalau emang rezeki, ya nggak kemana....." Lalu, ketika saya tanyakan alasan kenapa dia memberi saya uang itu? Si teman sangat baik itu merasa sangat bersalah, karena dia tidak bisa memberi saya kado sebuah barang, jadi aja saya dikasih kado, berupa 'mentah'-nya.

Kemudian, kejadian ketika saya melamar beasiswa ke Italia. Tenggat waktu yang diberikan untuk pengumpulan dokumen-dokumen yang dibutuhkan adalah tanggal 20 September 2008. Dan, seperti biasa...saya itu dead-liner sejati, jadi (saya masih ingat), tepat pukul 11.58 PM tanggal 19 September 2008, saya baru mengirim email data-data yang diperlukan tersebut. Pada pukul 12.01 AM, 20 September 2008, saya menarik nafas lalu berkata di dalam hati, "kalau emang rezeki, ya nggak kemana...."

Dan, hey! Tibalah pengumuman itu, saya diterima! Alhamdulillah. Well, "kalau emang rezeki, ya nggak kemana...." Walaupun setelah ditelusuri lebih dalam, ternyata saya baru sadar kalau ada perbedaan waktu selama 5 jam lebih cepat di Indonesia, sehingga sebenarnya saya tidak terlambat untuk mengirimkan surat permohonan beasiswa tersebut.

Yup, ada tiga alasan mengapa Tuhan tidak memberikan kamu rezeki seketika itu juga;

1. Karena Tuhan menundanya sampai waktu yang tepat.
2. Karena Tuhan akan memberikan jauh yang lebih baik.

dan yang terakhir....(ini nih yang paling saya rasakan kegunaannya sampai detik ini)
3. Karena menunggu rezeki itu adalah bagian dari rezeki itu sendiri.


Jadi, kalau ada yang bilang, menunngu adalah pekerjaan yang paling membosankan. Hooooo, tidak kawan~ Karena dengan menunggu kamu akan mendapatkan sesuatu yang lebih dari apa yang kamu tunggu itu.

Nggg, kehidupan itu adalah proses menunggu juga lho...Menunggu kematian, tepatnya. Jadi kalau kamu bilang, menunggu itu membosankan? Berarti kamu bilang, hidup itu membosankan juga dong? Kalau kata Bang Jampang mah sih gini:"Mati aja déh lu....hehehehe"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar