Rabu, 02 Maret 2011

A teacher who teaches

Dalam pekerjaan yang saya lakoni saat ini, saya punya kebiasaan untuk mengisahkan cerita anak-anak kepada anak-anak asuh saya.

Sebenernya sih pekerjaan ini terlihat sederhana sekali pada awalnya. Saya tinggal ambil buku cerita dalam bahasa inggris yang sudah tersedia di rak buku, lalu saya tinggal bacain cerita déh.

Namun, ternyata, akan tetapi, pendapat saya itu salah besar sodara-sodari sekalian sadayana sakulawargi! Anak-anak itu gemar sekali untuk bertanya.

Saya ambil contoh, ketika saya lagi bacain cerita Cinderella. Saya berujar, "Lalu Cinderella disiksa oleh kedua saudara tirinya…"

Tiba-tiba aja si Filippo Inzaghi bertanya, "Why?"

"WAAAIIII???? Ya elo tanya aje sama babeh lo!" Ujar saya dalam hati. Ahahahaha! Saya jadi ngerti, perasaan guru TK saya waktu dulu, maklum yang mulia Teteh Piera ini termasuk anak yang baru bisa berhenti ngomong kalau lagi makan doang.

But, bukan yang mulia Teteh Piera namanya kalau nggak jago ngeles. Dengan otaknya yang kere-aktif (ternyata kejedot angkot 4x itu membawa berkah juga), saya menggunakan sebuah alasan yang cukup mangteff. Karena kebiasaan si Filippo Inzaghi yang demen nangis gogoakan sering buat saya pengen ngemil batang pohon kayu jati, akhirnya saya bilang, "karena Cinderella itu suka nangis kalau mainannya direbut, dia kalau makan suka nggak abis, terus dia suka mukulin kepala orang lain, makanya dia disiksa sama kakak tirinya…."

Dan semenjak itu, kalau si Filippo Inzaghi mulai mewek, saya langsung ingetin dia sama cerita Cinderella. Kalau dia nangis, dia bakal disuruh ngepel lantai rumah, nyuci baju, dilarang makan, oleh kakak-kakaknya, dan akhirnya si Filippo Inzaghi pun berhenti menangis.

Ada lagi cerita tentang sleeping beauty. Jadi kan si tuan putri nya itu dikutuk sama seorang penyihir. Dan lagi-lagi saya mendapatkan kata tanya, "why?"

Kalau aja yang ngomong 'why-nya' itu adalah Ontjom si Tukang Iri Hati, dengan gampangnya, saya bisa jawab, "ya elo tanya aja ke penulisnya!" Ahahahaha!

Tapi, sehubungan yang nanya ini adalah seorang anak kecil yang masih lugu kaya yang mulia Teteh Piera….Bentar-bentar, WOOOOOOOT!!!!! Yang mulia Teteh Piera???? Lugu??? LUGU???

Yo-i banget déh kakak, saya ini orangnya lugu alias sangat LUcu dan sedikit belaGU, kaaaaaaaaaak~ Kaaaaaaaaaak~ *Pasti temen-temen kelompok PENCAPIR (PENgamat CeritA-cerita PIeRa!) udah pada mulai pengen ngelempar saya pake tombak asal Kalimantan.

Oceh, balik lagi ke cerita si sliping biyuti. Perlu teman-teman kelompok PENCAPIR (PENgamat CeritA-cerita PIeRa!) ketahui, saya akui, bahwa otak saya ini produk karbitan, kekeke. Saya terlalu cepat menyelesaikan program TK, SD, dan SMA. Tapi, baru kali ini saya merasakan bahwa kemampuan kinerja otak saya kudu berjalan in double speed. Karena anak kecil itu nggak bisa nunggu lama untuk mendapatkan sebuah jawaban. Sisi positifnya adalah, sense-of-knowing mereka menjadi besar banget. Sisi negatifnya, kecerewetan mereka sering buat saya pengen melatih jurus tongkat pemukul anjing-nya An Cit Kong!

Di sini lah, saya menyadari maha dahsyatnya sebuah profesi bernama 'guru', entah itu guru debus atau guru fisika! Jujur nih ye, jaman dulu, saya agak sedikit meremehkan profesi yang satu itu, kekekeke. Jaman dulu saya pernah berpikir, "oooh, jadi guru itu senang ketika persentase kelulusan mata pelajaran yang dia ajarkan itu baik. Jadi, gue, sebagai murid, sebagai mahluk hidup, cuma dijadikan sebagai bentuk grafik, yang ketika terus menaik, berarti gue ini murid yang keren, tapi ketika grafik gue turun, gue ini murid yang bego???"

Enak ajeeee, saya yang mahluk hidup kok disamain sama benda mati???

Saya bener-bener kuciwa setengah mampus, ketika seorang anak yang mendapatkan nilai bagus, dibilang pinter dan ketika seorang anak mendapat nilai jelek, dibilang bodoh. Ketika 8 dari 10 soal yang saya kerjakan itu jawabannya benar, tapi mereka malah lebih menuntut 2 soal yang salah. Ketika ucapan, "kok kamu bisa salah dua?" lebih sering diucapkan daripada ucapan, "bagus ya, kamu sudah benar delapan…" Aaaaah waktu itu saya bener-bener muak sama profesi yang satu itu. Tujuan utama saya lulus cepet-cepet, bukanlah ingin membanggakan orang tua atau karena karena otak saya lagi dalam keadaan 'fresh from the oven', tapi lebih kepada, saya pengen cepet-cepet nggak ketemu lagi sama guru-guru killer, kekekeke.

Saya membalas dendam semua perlakuan dari guru yang saya dapatkan waktu itu ke buku-buku yang saya baca. Guru itu menganggap saya benda mati, maka saya akan menjadikan salah satu benda mati juga sebagai guru saya. Tapi, dari sebuah benda mati (buku) saya nggak bisa ngedapetin 3P (rumusan kehidupan yang saya dapetin selama 23 tahun terakhir dari pengalamn hidup saya), Pengakuan, Penerimaan, dan Pujian. Emangnya kita hidup di jaman Harry Potter, di mana sebuah buku bisa cuap-cuap sendiri?

Namun, seolah ingin membuat rekontruksi ulang, dengan nggak kalah kerennya, Tuhan menempatkan saya dalam posisi mereka. Biar saya ngerasain apa yang mereka rasakan waktu ngajar seorang murid yang skeptik, kaya saya, dahulu kala.

Afterward, sekarang saya menadari, ternyata seorang guru itu nggak cuma peduli sama nilai muridnya kok, para guru juga lebih bangga kalau muridnya lebih mengerti kenapa bulan itu mengitari bumi daripada sebuah angka '100' yang tertera di selembar kertas jawaban di pelajaran IPA.







Siiigh~ Ternyata bekerja dengan anak-anak itu nggak cuma butuh hati selembut kapas aja, tapi juga butuh kemampuan otak untuk berpikir dengan cepat. Yang pada akhirnya membuat saya beropini, kalau memang sudah seharusnya gaji seorang guru sama kaya gaji CEO-nya perusahaan microsoft.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar