Senin, 24 Oktober 2011

Leaving the toilet to change the world

Hai temen-temen kelompok PENCAPIR (PENgamat CeritA-cerita PIeRa!) sekalian. Bagaimana hari minggunya???

Tuhan memberkati temen-temen kelompok PENCAPIR (PENgamat CeritA-cerita PIeRa!) yang beragama nasrani and spent the holiday through going to the church ya….

Buat temen kelompok PENCAPIR (PENgamat CeritA-cerita PIeRa!) yang meghabiskan weekend dengan pacaran, aaaaarrrgh! Saya doain biar cepet putus! Putus asa mencari pasangan yang lain maksudnya, kekeke, tetaplah setia dengan pasangan! Pasangan kalian masing-masing ya, bukan pasangan orang lain T.T

Nah, sekarang giliran buat temen kelompok PENCAPIR (PENgamat CeritA-cerita PIeRa!) yang jomblo. Sendiri. Kesepian. Sering di-bully. Suka nggak tega buka dompet yang tebel sama bon beli fres-tea di Indomaret dan Alfamart terdekat. Ditinggal kawin sama temen-temen seangkatan. Namun tetap bergairah pergi ke acara ondangan (siapa juga yang nolak makan gratis???). How were you doing last weekend guys???

Nah, di weekend kemaren saya sempet merasakan sakit perut yang tak tertahankan. Sekiranya dekitar satu jam lamanya saya duduk termenung sendiri sambil membayangkan masa depan yang terang benderang, di dalam WC.

Temen-temen kelompok PENCAPIR (PENgamat CeritA-cerita PIeRa!) mungkin sudah tau kebiasaan saya yang satu entuh. Duduk di WC berlama-lama without any kind of interrupting  feels just like a heaven for me, kekekeke.

Memang tak banyak yang bisa saya lakukan di dalam ruangan berukuran tak lebih dari 2,5 x 2,5 meter tersebut. Tapi ya guys, biar tampang saya ini terlihat sangat lucu, cantik, imut, menggemaskan, unyu, genit-genit-merayap-geeeemmmmaaaannaaaaa geeeeethooo, saya juga punya hobby membaca buku.

Ada yang bilang kebiasaan yang satu ini menurun dari almarhum kakek saya yang selalu membawa buku ke manapun dia pergi ditugaskan (Ayahnya si Papap adalah salah satu petugas pemerintahan pada masa Belanda).

Tapi menurut si Mamam, kegemaran saya membaca mulai tumbuh pesat setelah saya sering dititipkan di sebuah toko buku terbesar yang ada di Indonesia, ketika saya belum bersekolah dan si Papap masih bekerja di sana. Jadi kalau si Papap sedang bekerja, saya sering dititipin sama satpam gitu buat menghabiskan waktu.

Biar dikate muka security, tapi hati mereka hello kitty!

Mungkin sekarang, temen-temen sudah tidak aneh lagi melihat buku-buku yang tergeletak begitu saja di rak buku penjualan beberapa toko buku. Namun, pada awal 90-an, hal itu termasuk susah ditemukan, apalagi toko buku masih terhitung sebagai tempat yang wah, mas-mas security dengan tampang preman di Kampung Rambutan pun terus berpratoli dengan gagahnya.

Bandingin déh sama satpam toko buku zaman sekarang??? Rambutnya pake gel, wangi-wangi, suaranya pada nge-bass betot kaya Oom Baby Romeo, tampang pun nggak kalah sama vocalist band kawakan.

Nah, pada zaman itu, biar si Papap bisa tenang bekerja dan agar anak satu-satunya ini nggak nggak nangis gogoakan dan anteng, saya sering dikasih buku untuk dibaca. Tentu saja, supaya saya bisa menikmati isi dari buku-buku yang disodorkan si Papap, saya kudu membuka plastic covernya.

Sang satpam tidak bisa berkutik banyak, ketika dengan bahagia-nya saya bisa membuka plastik-plastik tersebut. Agak ribet juga ya kalau membiarkan seorang anak kecil berumur 2-3 tahun nangis mengharu-biru di dalam sebuah tempat yang menjadikan kesunyian sebagai salah satu daya tarik utamanya.

Dari cerita di atas, bisa lah saya disebut sebagai salah seorang dedengkot termuda dalam hal membuka plastic cover of books which supposed to be selling out:)

Nah, kegiatan mules-mules saya selama sejam lebih di weekend kemarin pun tak luput dari hobby saya membaca buku. FYI, entah kenapa (oops! maaf) kotoran saya nggak bisa keluar kalau saya tidak membaca buku ketika melakukan buang air besar. Mungkin sugesti atau mungkin ketakukan akan 'kesambet' kalau berlama-lama di tempat kongkow-nya para jin tersebut.






Buku berjudul 'Leaving Microsoft to Change The World' menjadi pilihan saya kali ini. Sebuah kumpulan halaman yang menceritakan tentang evolusi kehidupan seorang John Wood, seseorang yang berpenghasilan berpuluh ribuan dollar per bulannya, menjadi seorang yang tidak memiliki sepeser cent-pun di dompetnya.

Dia bekerja di sebuah perusahaan yang diimpikan oleh semua lulusan IT di dunia, namun meninggalkannya begitu saja setelah melakukan sebuah perjalanan yang tak terlupakan di Nepal. Saat ini, John Wood lebih memilih untuk mengabdikan dirinya di dalam bidang edukasi anak tak mampu, daripada menghabiskan paginya di Sydney, siang di Shanghai, malam di Michigan dalam hari yang sama.

Baca buku kaya gini téh ya, sering membuat yang mulia semakin yakin, kalau yang dicari manusia bukan uang, tapi kebahagiaan. Uang memang dapat mempercepat datangnya kebahagiaan, namun yang namanya proses pursuit of happiness can't lie ya. Semakin sulit untuk mendapatkan kebahagiaan, semakin lama kebahagiaan itu bertahan ketika sudah tercapai di saat waktunya yang tepat nanti :)

Jiyeeeeeeeeeeh, yang mulia Teteh Piera gaya pisan ya sob, dari ngomongin eek jadi ngomongin ha-happiness-an, kekekeke. Udah dulu ah, saya mau cebok dulu :)

P.S: "Jangan sampe CLBK (Cebok Lama Bersih Kagak) ya temen-temen semuanya!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar