Senin, 18 November 2013

Kok-muter line: Just Cikini Away

Hembusan angin sore Jakarta sedikit membuat saya menggigil. Hujan cukup deras terus turun semenjak pagi hari tanpa henti.

Sesekali saya melihat wajahnya. Tubuhnya yang tegap, rahang mukanya yang terlihat semakin terbentuk, dan jemarinya yang bergerak ke sana ke mari, menirukan gaya beberapa orang terkenal, membuat kami semua tertawa.

Suara tawa keras yang keluar dari mulut itu dengan sangat baiknya bisa menutup suara degup jantung saya yang tak kalah kerasnya.

Beberapa kali dia membetulkan posisi berdirinya untuk sedikit lebih dekat dengan tempat duduk saya. Saya hanya bisa bergeser sedikit, berharap tak ada orang yang tahu kegugupan yang saya rasakan.

Terkadang saya mengikuti gerakan konyolnya, beberapa teman kami tertawa melihat tingkah laku kami berdua. Namun, mereka tidak akan pernah tau apa yang saya rasakan saat itu.

"Mbak Viera? Selamat ya, kamu terpilih untuk dijadikan salah satu staff di perusahaan kami."

Suara di sebrang telepon selular buatan Korea itu, cukup mengagetkan pagi saya. Sebuah perusahaan yang tidak pernah terpirkir akan menerima saya, ternyata mengubah pemikirannya. Saya diberi waktu satu hari untuk memberikan jawaban.

Suara petir yang cukup keras membuat sekitar tujuh orang yang berada dalam ruangan itu terdiam seketika. Dia terlihat sedikit ketakutan kilatan cahaya yang terlihat mengerikan dari jendela kantor kami yang berukuran di luar batas kewajaran itu.

Sedangkan saya, terlihat ketakutan untuk kehilangan dirinya.

Beberapa menit kemudian, suasana ruangan itu kembali penuh tawa. Dia berulah lagi. Kali ini dia menirukan salah satu pembawa acara pria kenamaan yang sering terlihat seperti seorang wanita. Saya kembali dibuat tertawa terpingkal-pingkal sampai keluar air mata. Entah air mata penuh kebahagiaan atau kesedihan.

"You're only twenty something Vie, you have so many dreams that you want to achieve. Do you want to stay in the same place just because he's there. Is he worthy enough? Is he your dream?"

Kiriman pesan suara dari seorang teman membuat saya kembali menghelakan nafas. Sesaknya pikiran dalam otak saya mengalahkan sesaknya gerbong kereta yang saya tumpangi dari Stasiun Cikini itu.

Lagi-lagi mimpi saya yang fana selalu mengalahkan perasaan saya. Entah untuk kesekian kalianya, saya selalu mengorbankan semua perasaan saya demi hanya sebuah cita-cita yang belum terlihat hasilnya.

Lantunan petikan gitar Sungha Jung menemani kebingungan saya yang semakin menjadi.







"Well, that's your choice sih Vie. You have a dream. Take him or leave him."

Itulah pesan terakhir yang saya dapatkan dari sang sahabat, sebelum serbuan para ibu-ibu muda masuk kembali ke dalam gerbong kereta yang saya naiki.






Kaki saya lagi-lagi terinjak oleh salah satu penumpang. Air mata saya sedikit keluar. Entah karena menahan sakit yang dirasakan oleh ujung jempol kaki kiri saya ataukah hal yang lain.




1 komentar: