Namun anggapan saya berubah seketika. Suatu hari, saya berkenalan dengan tetangga satu balkon flat saya.
Saya: "Ciao!" (Hai!)
Tetangga: "Ciao! Come stai?" (Hai! Gimana kabar lu?)
Saya: "Sto bene, grazie. Comunque, come ti chiami?" (Gue sih baek-baek aja. Bai de wei, nama lu siapa?)
Tetangga: "Mi chiamo Filonema..." (Nama gue Filonema.)
Saya: "Fenomena?" (Fenomena?)
Tetangga: "Nooooo, ma Filonema...." (Bukaaaan, tapi Filonema....)
Saya: "Si, si, Fenomena." (Iya, iya, Fenomena.)
Tetangga: "NOOOO! Sono Filonema..." (BUKAN WOI! Nama gue Filonema...)
Saya: "Si, ho capito, ti chiami Fenomena..." (Ooooh, gue ngerti sekarang. Nama lu itu Fenomena.)
Tetangga: "No. F.I.L.O.N.E.M.A. Filonema." (BUKAN! F-I-L-O-N-E-M-A. Filonema.)
Saya: "Aaaaa, si. F.I.L.O.N.E.M.A. Fenomena..." (Aaaaah, ngerti, ngerti, eF-I-eL-O-eN-E-eM-A. Fenomena....)

Dan Filonema pun berencana untuk mengantarkan saya ke playgroup terdekat.
Oh ya, sampai sekarang saya masih sering manggil dia Fenomena lho! Maklum nih lidah biasa naik angkot. Soalnya nama dia itu lebih mengingatkan saya dengan phrase 'fenomena alam'.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar