Sabtu, 26 Juni 2010

He wrote, I read! I wrote, he reads?

Ada yang tau siapa Agustinus Wibowo????

Bukaaaaan! Dia bukan satpam komplek Perumahan Pantai Indah Kapuk yang dimana cicilannya bisa sampai 35 juta/bulan!
Bukaaaaan juga! Dia bukan seorang kondektur KRL AC-Ekonomi jurusan Bogor-Tanah Abang!
Bukaaaaan dooong! Dia bukan tukang jualan makanan kegemaran saya, siomay Cikini!

Hmmmmm, mungkin saya juga agak bingung nih mau memperkenalkan beliau pada teman-teman kelompok PENCAPIR (PENgamat CeritA-cerita PIeRa!) semuanya. Abis kalau nggak dikenalin, kesannya saya sombong, nggak ngenalin seseorang yang bener-bener menghinggapi pikiran saya. Tapi kalau dikenalin juga, pasti banyak dari kalian, yang udah kenal, malah jauh lebih kenal dari saya.

Nggggg, gimana ya enaknya??? Okay, saya nggak usah cerita banyak tentang latar belakang dia. Kalau itu sih bisa diliat di wikipedia (kalau ada) atau di facebook accountnya (kalau emang kalian termasuk di friend list dia). Di sini, saya akan coba untuk menggambarkan bagaimana hubungan kami berdua sebenarnya selama ini. (Cieeeeeeee gaya betul! Udah kaya infotainment ajeeee lu Vier!)

Well, buat yang mengira macem-macem, kalian boleh kuciwaaa, hehehehe. Dia bukan teman video (ala Tarieluna) saya. Hubungan kami pun hanya sebatas penulis dan pembaca. He wrote, I read. Saya ini salah satu pembaca kompas.com. Bagi saya, harga koran eksemplar Kompas waktu itu bisa mengurangi jatah saya buat beli karcis kereta untuk pulang ke Bogor dari tempat kuliah saya yang ada di Jakarta. Sehingga membaca kompas.com pun menjadi pilihan yang cukup tepat. Toh isi beritanya tidak terlalu jauh berbeda.

Biasanya saya cuma membaca bagian headline dan entertainment saja. Maklum, selain haus akan ilmu pengetahuan, kan saya juga haus akan gossip. Nah, suatu saat saya membaca sebuah artikel Agustinus Wibowo yang sempat menjadi headline. Tadinya sih, saya males bacanya, soalnya puanjaaaaaaaaaaaang buanget, terlalu buang-buang waktu di sela-sela kesibukan saya ngeceng para kondektur KRL AC Ekonomi Jabodetabek.

Tapi, sebuah judul yang saya lupa penulisan pastinya bagaimana, namun saya masih ingat sinopsis ceritanya sampai sekarang. Di sana, Mas Agus, nama panggilan beliau dari para orang yang umurnya jauh lebih muda, bercerita pengalamannya ketika dia sedang menderita penyakit kuning sehingga harus dirawat inap di sebuah rumah sakit India yang naudzubillahiminzalik joroknya. Di paragraf awal, Mas Agus mendeskripsikan keadaan rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah India yang terdapat sampah di mana-mana, sungguh suatu ironi, di mana seharusnya sebuah tempat yang mengobati berbagai macam penyakit malah menjadi sumber dari bakteri atau virus itu sendiri.

Tapi sungguh tercengang beliau, ketika berjalan ke bagian administrasi rumah sakit, beliau sama sekali tidak dipungut biaya sedikitpun. Sebuah sistem kesehatan yang harus ditiru oleh Indonesia.

Gambaran kumuhnya WC (my favorite place, iiih kok saya kaya jin ya? Demennya mendem di WC) rumah sakit yang jelas, ditulis dengan sebegitu menariknya oleh Mas Agus dan inilah yang membuat saya lebih menyukai kegiatan membaca daripada menonton film. Karena seorang penulis lebih membebaskan imajinasi kepada peng-konsumsi-nya daripada seorang sutradara. Seperti yang pernah ditulis Roland Barthes dalam buku karangannya yang berjudul 'The Dead of The Author'. Se-terkenal apapun sang penulis, namun pada akhirnya hanya para pembacanya yang bisa menilai buku itu bagus atau tidak, yang dapat disimpulkan bahwa peran si penulis (the author) itu sendiri sudah tidak ada atau mati (dead).

Semenjak itu, saya tidak pernah melewatkan satu pun artikel yang ditulisnya. Saya paling suka tulisan Mas Agus tentang pengalamannya di Afghanistan. Bener-bener bikin saya mengubah tujuan tempat honeymoon saya suatu saat nanti! Entah kapan, saya harus pernah menginjakan kaki di negara penuh konflik itu. Sebuah negara yang pernah menjadi jalur penyambung antara kaum barat yang ingin mencari penerangan di kawasan timur pada awal tahun 70-an, tiba-tiba saja di cap menjadi negara sarangnya kaum teroris.

Tentu, jika kita melihat di televisi, Afghanistan bagaikan sebuah negara yang hanya terdiri dari banyak gurun, kering-kerontang, dan bomb di mana-mana. Walaupun, Mas Agus tidak pernah bilang 'tidak' tentang kenyataan tersebut, tapi dengan keren-nya Mas Agus menggali sisi lain dari para penduduk Afghan (bukan yang nyanyi lagu 'Sadis' itu ya!), yang dapat menutup beberapa kenyataan kurang baik tersebut.

Bahkan, ketika para orang barat itu menghujat kesetaraan derajat bagi para wanita Afghan, Mas Agus menulis suatu tanggapan para wanita Afghan yang tidak terlalu terkena invasi produk Amerika seperti di Indonesia, yang (menurut saya) cukup menohok para feminism scholar. Mas Agus menunjukan beberapa gambar wanita barat yang bekerja kepada para wanita Afghan, dan tanggapan mereka adalah, "Mengapa suaminya tega membiarkan mereka sampai bekerja keras seperti itu?"

Mas Agus juga tidak luput membahas tentang penggunaan burqo yang dicerca habis-habis-an oleh dunia barat, karena terlihat tampak mengekang para pemakainya. Dan memang, wanita Afghan yang kebanyakan tidak mencicipi bangku sekolah sistem barat ini diberikan karunia cara pemikiran yang berbeda daripada kita kebanyakan (termasuk saya). Mereka berpendapat bahwa dengan dipakainya burqa, islam menjaga kebebasan bagi para wanita. Ketika para laki-laki di luar muhrim mereka hanya dapat melihat bagai sebuah 'kain besar berjalan', para wanita Afghan ini dapat dengan leluasa dapat melihat laki-laki di luar sana dibalik burqo-nya.

What an opinion! Saya speechless! Saya memang beragama islam, tapi saya tidak setuju dengan pemakaian burqo (sampai membaca tulisannya Mas Agus yang satu itu). But hey, it's a culture, sama seperti marahnya Indonesia ketika kesenian reog Ponorogo diobok-obok oleh pihak Malaysia, tentu saja para penduduk Afghan itu juga risih dengan ke-'sok ikut campur'-an para kaum barat akan sesuatu yang mencirikan negaranya.

Dan semua cerita perjalanan Mas Agus dari China sampai ke negara-negara Asia Utara melalui jalan darat itu dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul 'Selimut Debu'. Cerita-certia Mas Agus yang tinggal lama di suatu negara yang tidak pernah dia kenal selain dari media itu pun menjadi salah satu alasan saya bisa tetap bertahan di Calabria.

Siapa sih yang nggak kenal Milan, Roma, atau Venice? Kumpulan kota-kota turisme di kawasan Italia Utara yang namanya kesohor sampai se-antero dunia. Banyak orang yang ingin ke sana. Tapi, siapa juga yang tau akan Calabria? Crotone? Tropea? Beberapa kota kecil di Italia bagian selatan yang nggak kalah cantiknya, namun agak sulit untuk menemukan orang-orang yang dapat bercakap-cakap bahasa Inggris di sana.

Sudah bukan rahasia umum lagi, kalau saya mengalami kesulitan berkomunikasi dengan para teman-teman Italia saya. Namun, seperti yang saya pelajari dari Mas Agus, saya harus bisa menikmati kesulitan itu sendiri, karena selain belajar dalam jalur normal, melanjutkan strata dua, saya juga harus belajar kebudayaan sekitar. Dan jangan kaget, kalau nanti pelajaran tentang kebudayaan itu bisa lebih berperan bagi masa depan saya nantinya (kaya pengalaman Mas Agus ini, keliatan banget ya saya nge-fans-nya. Hehehehe).




Oh iya, kadang-kadang saya juga suka berharap, kapan ya bisa mencapai moment, "I wrote, he reads" itu??? Hehehe!

Happy reading :)

9 komentar:

  1. i'm sure he will... :)

    BalasHapus
  2. hiks hiks hiks, terharuuu sama komennya Mbak Shima T.T Amiiiiin, aaaaah kapankah itu bisa terjadi? Buku saja aku tak punya T.T

    BalasHapus
  3. eh, maksudnah, dikau blum baca tuh selimut debu?
    keep the faith pe', like candlelight among the darkness, will make the unseen become real... :)
    mohon dibantu eaa, prok prok prok! ;)

    BalasHapus
  4. Udaaaah :) maksudnya kapan ya beliau bisa baca tulisan aku??? Soalnya aku mah belum punya buku seciamik beliau, gaya nulis saja berbeda jauh T.T Mungkinkah beliau mampir ke blog ini?

    Aduh, kebetulan di sini nggak pernah mati lampu, jd ga punya lilin #mintadigamparpelangganPLN

    BalasHapus
  5. hahahaha, coba disitu mati lampu, pasti jadi buku! :))
    raditya dika aja bisa jadi buku ma pilem, pasti kau juga bisa, kan? ;)
    c'mon, i know u can... :)

    BalasHapus
  6. kakakakak, iyaaa beneeeer! Klo mati lampu yg ada aku nggak nulis blog tapi diary gambar hello kitty gitu kali ya? kikikiki.

    Wah, suatu kebanggaan tersendiri bisa dibandingin sama Raditya Dika, dy mah terlalu keren euy...

    BalasHapus
  7. ;)
    dah ah, mandi doloo, ngantor ngantoorrr... #berencanangumpetdiperpusbuattidur
    thank's ya pe', coretan2 galaumu udah menemani malem2 galauku sampe pagi menjelang... :D

    BalasHapus
  8. Sama2 mbak shima, ih malah aku yg harusnya bilang makasih, udah dibaca blog nya :) Padahal tulisannya kacau balau gitu T.T Selamat bekerja, salam buat Pahri :)

    *Lagi nulis kerangka tulisan buat beberapa hari ke depan :)

    BalasHapus
  9. Baru tau kalo ceu Piera me review buku ini.... beberapa yang lalu habis beli dapet diskonan 10%...

    BalasHapus