Selasa, 19 Oktober 2010

Sebuah note dari A.M

Saya menemukan seonggok daging di tumpukan friendlist di facebook. Hey, hey, hey siapa dia? For your information, ketika ada yg meng-add saya di situs pertemanan yang satu entuh, hal pertama yang saya cross-check adalah mutual friends yang kemudian dilanjutkan dengan…..Notes! Yuppie binti he-euh, notes! Bukan informations, bukan wall, bukan kumpulan sejibun foto, atau sebangsanya. Saya suka membaca, sesuai dengan ayat pertama yang turun dari kitab suci yang saya yakini, "iqraaa…" atau "bacalah…" Buat saya modal utama untuk menjadi seseorang yang cerdas lahir dan batin adalah…..Membaca. Apapun itu, dari al-quran sampai stensilan!

Saya tidak pandai membaca pikiran namun saya suka membaca tulisan. Saya suka menerka-nerka, kira-kira apa ya yang dipikirkan sang author ketika membuat tulisan tersebut dan sampailah saya pada…..Orang ini! Kenalkan namanya A.M, mahasiswa yang terancam lulus dari sebuah universitas kenamaan, UGM, kalau kata saya Universitas Gigireun Masjid, kalau kata dia, Universitas Gaul Mameeeeen.

A.M, asli Tasikmalaya (satu kampung sama Teteh Piera), anak seorang kyai kenamaan, punya hobby ngegombal, dan sayang banget sama emaknya.

Saya yakin semua teman-teman kelompok PENCAPIR (PENgamat CeritA-cerita PIeRa!) pernah mengalami hal-hal yang Bung A.M, rasakan. Bingung meniti karir! Kalau kata si Renee Suhardono mah ita sedang mengalami masa-masa, when "your job is NOT your career!"

Kita merasa kehilangan arah, 12 tahun lebih sekolah, berasa nggak ada gunanya, ketika kita mati-matian mencapai nilai minimum di kala UAN. Namun semuanya tampak selayaknya sebuah kiasan ketika mencari sebuah pekerjaan. Hehehehe! Aheeeeey~

Tenaaaaaang, saya juga mengalami hal yang serupa kok. Bingung mau jadi apa nanti? Pokoknya pengen hidup kaya, mati masuk surga! Tapi sayangnya di antara 'hidup bergelimang harta' dan 'mati ditemani para bidadara', ada rasa muak, menjijikan, pikasebeleun, menggelikan, dan hal-hal yang buat kita pegen nyimpen kedua tangan basah kita di atas colokan listrik.

Namun, after I read what he had been writing, I felt that….Yup! Yup! Yup! Selamat membaca déh, biar ngerasain hal yang sama atas apa yang saya rasakan. Atas se-izin beliau saya dapat meng-share semuanya sama teman-teman kelompok PENCAPIR (PENgamat CeritA-cerita PIeRa!) sadayana, sakulawargi, sedunia!!!

So, here we go….









“Banyak generasi telah bekerja dalam pekerjaan yang mereka benci, hanya supaya mereka bisa membeli barang-barang yang tak mereka perlukan”

Ucapan itu sangat menampar saya. Saya menemukannya dalam buku ”Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer” yang saya beli minggu lalu. Ucapan itu adalah potongan dialog film ”Fight Club”, diucapkan oleh tokoh Tyler Durden. Dan begitu menemukan ucapan itu, saya terpanggil untuk menulis (lagi).

Kalau saya boleh jujur, saya sudah menyadari itu dari dulu. Saya selalu merasa semua orang punya minat dan bakat masing-masing. Dan semua orang (seharusnya) punya jalan yang berbeda untuk mengembangkan minat dan bakat yang berbeda-beda. Susah rasanya membayangkan seorang atlet basket tertarik pada kajian filsafat, sebagaimana sulitnya mengajak seorang sastrawan untuk bermain futsal. Dan jurusan-jurusan kuliah yang sedemikian beragamnya itu memungkinkan untuk setiap minat dan bakat menemukan jalannya sendiri-sendiri. Sengaja saya kerucutkan ke dunia perkuliahan, agar terasa lebih konkret.

Saya menyadari itu ketika duduk di kelas dua MAN (sekolah setingkat SMA dengan muatan pelajaran agama yang menggunung). Orang-orang selalu berpikir saya punya modal yang cukup untuk masuk kelas IPA dan kuliah di Fakultas Kedokteran, termasuk ibu saya. Mungkin, bagi kebanyakan orang, profesi dokter adalah profesi yang prestisius, menggambarkan orang cerdas dengan penghasilan selangit. Saya pun sedikit terbawa suasana. Saya sempat masuk kelas IPA. Ternyata, di kelas IPA saya malah semakin yakin, bahwa saya sedikit bawel, punya sedikit modal kecerdasan verbal (istilah kerennya). Akhirnya, saya memutuskan pindah ke kelas Bahasa.

Banyak yang menghujat, termasuk ibu saya. Betapa kecewanya dia, karena akhirnya ia harus bisa menerima kenyataan tak akan ada satu pun anaknya yang jadi dokter. Sebab saya, anak terakhirnya, tak mau jadi dokter. Tapi, dalam hal ini, saya terpaksa harus durhaka. Toh, yang sekolah, yang kuliah, tetap saya. Ibu saya memang berperan, mengirimi uang tiap bulan. Tetapi, ia tidak akan ikut-ikutan memikirkan praktikum di Fakultas Kedokteran yang mengancam saya mati berdiri dengan mata melotot dan usus terburai di laboratorium. Dan saya tak mau hidup saya berakhir secepat dan setragis itu.

Jadi dokter? Pintar, ganteng, kaya, siapa mau? Tapi saya tak berminat dengan citra semacam itu. Kalaupun saya memaksakan diri, dan saya mampu, tetap saja hidup saya tidak akan menyenangkan. Saya akan memaksakan diri untuk menempuh studi sekian tahun, dengan beban belajar dan biaya sekian banyak, lalu mendapatkan izin praktek dokter. Lancar dan tidak beresiko, bukan? Kalau tiba-tiba saya melakukan kesalahan, apa yang bisa saya lakukan? Saya membunuh orang dengan dalih salah suntik, lalu di pengadilan saya bilang: ”Maaf, yang mulia, sebenarnya dari awal saya sama sekali tidak berminat jadi dokter. Saya terpaksa jadi dokter demi membahagiakan ibu saya, bukan karena saya ingin menyembuhkan pasien”. Dan saya akan dicap sebagai dokter paling konyol sepanjang sejarah.

Maka, saya pun banting setir. Saya masuk kelas Bahasa, impian saya: kuliah di Fakultas Ilmu Budaya, jurusan apapun. Tapi, lagi-lagi saya harus berkompromi. Tuhan ternyata lebih berkenan kalau saya jadi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, yang nyaris tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Saya tak mau menyakiti hati ibu saya untuk kedua kalinya. Katanya: ”Tak apalah kau gagal jadi dokter, yang penting kau harus jadi pembaca berita!”. Alamak! Tak sadarkah dia, betapa susahnya membayangkan manusia dengan muka seperti saya sedang membaca berita di layar televisi. Tapi, ya sudahlah. Bukankah rahmat Tuhan bergantung pada restu bunda?

Dan tiga tahun lebih telah berlalu. Ada banyak kesempatan kerja yang menanti di ujung sana, membuat saya ingin cepat-cepat wisuda. Jadi pembaca berita? Tampaknya saya akan mirip dengan ucapan di atas: saya bekerja dalam profesi yang saya benci demi mendapatkan apa yang tidak saya butuhkan. Ya, saya benci dunia citra, saya benci harus jaim. Dan tampaknya saya tak butuh penghasilan jutaan rupiah demi memuaskan hasrat saya nongkrong di warung burjo dan merokok kretek Djarum 76. Ya, saya memang jelek dan goblok. Dan saya tak malu untuk mengakuinya. Jelek ya jelek. Goblok ya goblok. Lalu, sejak kapan orang jelek dan goblok jadi pembaca berita?

Lantas, apa profesi yang saya impikan setelah lulus?
Merujuk pada kecenderungan saya akhir-akhir ini, yang cukup membuat teman-teman saya gerah dan mencibir saya dengan bertubi-tubi, profesi impian saya adalah:
Penulis spesialis curhat!
Ha ha ha....

Tak ada hubungannya dengan dokter atau pembaca berita?
Tak apalah.
Saya hanya ingin bekerja dalam pekerjaan yang benar-benar saya sukai, demi mendapatkan hal-hal yang benar-benar saya perlukan.

Yeah.....






Sekian dan terimakasih, semoga tulisan ini bisa menjadi renungan di kala malam. Eh tapi, malem-malem tuh enaknya pacaran kali ya??? Bukan merenung. Dan saya pun mendapatkan sebuah solusi dari salah seorang teman saya, Mawar (bukan nama sebenernya, red), "enaknya tuh Pe, malem-malem merenung jorok bersama pacar!" Hoahahahahahahaha! Ckckckckckckck, pergaulan anak muda jaman sekarang…..

5 komentar:

  1. yoih!!bener banget..SATUJU, SATUBUH, GANYANG, MERDEKA!!
    wueehehehe..tapi tetep pe, diumur segini kudu mau ngerjain yang gak disuka demi duit..maklum pe kayaknya gimana gitu kalo umur segini belum ngasi apa-apa sama ortu kekeke

    BalasHapus
  2. sebuah kisah yang mewakili sekian banyak generasi penerus di Indonesia ini. Betapa tidak sedikit para orang tua kita yang benar-benar ingin kalau anak-anaknya kelak harus lebih baik daripada apa yang mereka raih, sehingga harus memaksakan kehendak kepada anaknya untuk mengambil pilihan yang mereka pilih. Bukan karena kehendak si anak itu sendiri. Kehendak seperti itu bukan satu-satunya hal yang harus dipersalahkan. Sistem pendidikan Indonesia sekarang justru memiliki peran yang dominan menurut saya. Dimana mindset yang terbentuk dari perlunya kita bersekolah adalah kemudian berujung menjadi seorang pegawai, lanjut menjadi atasan, menjadi kaya, dan hanya di bidang-bidang tertentu saja. Coba kita melirik negara Jepang, negara USA, Inggris, dimana kita bahkan bisa minimal sekedar hidup dan bahkan menjadi bergelimpang harta dikala memilih untuk menjadi seorang sastrawan, olahragawan, bahkan menjadi seorang pramuniaga sekalipun. Mari kembali kita renungi kondisi di negara kita. Bahkan untuk profesi yang saya sebut tadi saja, harus nyambi kerja sana-sini untuk bisa hanya sekedar bertahan hidup.

    sebuah curhatan yang bagus menurut saya. benar-benar mewakili sekian banyak generasi penerus yang saya yakin sekali, memiliki nasib yang sama dengan si AM. :D

    -salam merenung-

    BalasHapus
  3. oncomdotkokomkomariyah: Yo-ai beibeh, pan ceuk si oknum A.M juga begituh :) Keren siah beibs si oknum A.M urang tasik juga!

    Timmy: Hai Timmy, salam kenal :) Yo-ai curhatan para ababil seperti saya dan oknum A.M ini emang dari hati banget :)

    BalasHapus
  4. salam kenal kak aku cien dri Palembang tempatnya pempek berada :) bleh add facebook aku g?

    BalasHapus
  5. velory: salam kenal velory, waaah asik nih kalau ke Palembang udah ada yg traktir mpek2 :)

    BalasHapus