Rabu, 03 Januari 2018

Me, my dad, my mom & her stroke: The story begins

Hari Rabu kemarin, tepat jam 3 pagi, Bu Evie a.k.a mamah saya teriak kencang sekali dari kamarnya. Saya yang tidur berbeda kamar, dibangunkan oleh ayah saya secara tiba-tiba. Saya berlari dengan cepat menuju kamar mama.

Mamah masih menggunakan mukena lengkap berwarna coklat bercorak batik, seluruh badannya lemas tak bisa digerakan, mulutnya kaku, lidahnya menjulur ke dalam, dan bola matanya naik-turun tak karuan. Mamah muntah tak henti-hentinya, ditambah buang air besar yang dilakukan di atas tempat tidur. Mamah juga berkali-kali mengucapkan minta maaf.

It was a really unpleasant view. Kayanya sekejam-kejamnya angota geng motor yang sering nongkrong di depan rumah saya, pasti bakal jiper juga kalau ngeliat ibunya dalam kondisi tersebut, iya nggak sih?

Prediksi awal saya adalah mamah keracunan makanan, vertigo, migrain, maag atau masuk angin.

Sudah hampir tiga tahun ini, mamah menjalani gaya hidup sehat, kalau dilihat dari logika, tampaknya tidak mungkin sekali si mamah mengalami stroke, terlepas dari hal tersebut memang takdir Tuhan yang tidak bisa dielakan dan pasti ada hikmahnya.

Waktu menunjukan pukul empat pagi dan mamah masih belum sadarkan diri. Kondisi hati saya udah kaya kerupuk kulit yang dibiarinin begitu aja di luar toples selama tiga hari, melempem. Saya sudah menyiapkan diri untuk kondisi terburuk. I didnt cry at all by the way.

Buat yang nanya kenapa nggak langsung dibawa ke rumah sakit aja?

Well, si mamah nolak untuk dibawa ke rumah sakit pada saat itu, padahal udah mau kita gendong, tapi badannya nolak, nggak mau diangkat.

Selesai shalat shubuh, sekitar jam 4.15, Papah saya manggil dokter yang biasa jadi imam di masjid tempat kami shalat shubuh, kondisi di luar hujan, tapi ya gimana lagi, sebagai keluarga intinya, tentu saja kami penasaran banget akan kondisi Bu Evie.

Sedangkan Bu Evie terus-terusan minta maaf ke saya, nyebutin hutang-hutang beliau yang belum terselesaikan.

Entah karena air mata saya sudah habis gara-gara nonton drama Korea sehari sebelumnya atau memang saya dikuatkan oleh Tuhan untuk menghadapi situasi tersebut, satu hal yang saya bisa lakukan hanya memegang pundak beliau sambil menunggu kedatangan Papah menjemput dokter.

Masih dengan sarung dan peci yang menempel, sang dokter datang memeriksa mamah sekitar lima menit. Beliau mengarahkan senter ke mata mamah sambil menanyakan nama mamah beberapa kali dan juga memeriksa denyut nadi mamah sekaligus detak jantung mamah.

"Saya pikir ibu ini kena gejala stroke…."

JENG! JENG!

"APA!!!????"

Mata saya melongo, persis kaya Tante Lely Segita yang suka ngejahatin Mbak Lulu Tobing di sinetron Tersanjung.

Tanpa mengurangi rasa percaya kepada qadar-nya Allah SWT, ngeliat gaya hidup mamah yang sehat akhir-akhir ini, beliau rajin puasa Senin-Kamis, nggak pernah terlupa seminggu pun, mamah juga suka senam, sudah berhenti merokok for the past three years, diagnosa dokter tersebut tampak tidak masuk akal.

"Ibu harus segera di bawa ke rumah sakit. Ada yang namanya golden periode selama 3-6 jam, di mana seorang pasien harus segera diperiksa oleh ahli dalam periode tersebut. Sekarang baru jam setengah lima, Ibu tadi sudah lemas dari jam tiga ya? Jadi masih dalam waktu yang sangat bagus untuk ditangani lebih lanjut."

Papah bergegas menggendong si Mamah, tapi si Mamah tetap menolak. Dengan badan yang cukup berat, sekiranya perlu 2-3 orang untuk menggotong mamah masuk ke dalam mobil, apalagi kamar mamah terletak di lantai 2.

Tapi, Bu Evie is Bu Evie, dalam kondisi yang sudah tidak berdaya seperti itu dan bujukan terus menerus dari si Papah untuk pergi ke rumah sakit, dengan santainya beliau bilang, "sebentar ah, mamah tidur dulu, capek dari tadi muntah terus…."

ASTAGFIRULLAH!

Beneran deh, kalian tau nggak istilah kalau orang yang ditolongnya nggak mau, ya mau segimana rupa kita melakukan pertolongan pun, dia ga bakal bisa merubah kondisinya.

Ya mau didorong, digendong, diangkat, dibujuk, segimana rupa pun, tingkat gravitasi badan si Mamah tuh kayanya gede banget, dia sama sekali nggak bisa….Atau nggak mau beranjak dari posisinya.

Akhirnya si Papah ngasih minyak kayu putih ke badan si Mamah, while saya mempersiapkan pernlengkapan si Mamah di Rumah Sakit, mulai dari kartu BPJS sampai dua buku bacaan yang ingin saya tamatkan dan juga membersihkan poop dan muntahannya-nya Mamah yang berceceran.

Sekitar pukul enam pagi, si Mamah bangun dari tidurnya dan berbisik, "mau ke rumah sakit sekarang…"

Si Papah sampai memanggil empat orang laki-laki, salah satunya satpam ruko di depan rumah untuk memanggul badan si Mamah yang sudah lemas semuanya.

Alhamdulillah banget, waktu itu liburan sekolah sudah dimulai. Kondisi jalan menuju rumah sakit yang biasanya macet luar biasa karena saya harus melewati lebih dari sepuluh sekolah, lancar luar biasa. Emang ya yang bikin macet Bogor itu anak sekolah, jadi salah satu solusi agar jalanan bebas macet adalah, meng-homeschooling-kan mereka, ahahahaha.

Tak sampai 15 menit, saya sudah sampai di ruang instalasi gawat darurat di sebuah rumah sakit daerah di kabupaten Bogor.


1 komentar:

  1. Pe Mudah-mudahan ibu sehat terus ya pe.. Kalo ibu sakit kayaknya tuh matahari ga bersinar cerah..

    BalasHapus