Senin, 05 April 2010
Pahri, si anggota gank Busur.
Pahri.
Di antara beribu-ribu nama Fakhri di dunia ini, tapi cuma Fakhri asal Jogjakarta ini yang saya panggil dengan 'Pahri'. Berawal dari ejekan-ejekan orang di sekitar saya, yang bilang kalau orang sunda memiliki keterbatasan kemampuan bersilat lidah untuk membedakan penggunaan huruf 'f' dan 'v', di mana keduanya akan berubah dengan mutlaknya menjadi huruf 'p'.
Kami menghabiskan masa remaja bersama. Maksudnya, saya bersama teman-teman sepermainan saya yang baik-baik, sedangkan dia semakin eksis saja dengan gank Busur (BUronan SURga) yang dipimpin oleh seorang teman lain yang terkenal sering menjadi iman ketika shalat shubuh berjamaah dilaksanakan di Masjid Al-Hidayat, bernama Jaemi.
Hobi saya waktu itu memperbanyak pahala, sedangkan Pahri memperbanyak melihat paha....wanita. Tapi hidup kami sangat rukun, sesekali saya mengisi waktu luang saya dengan mengaji surat al-baqarah, di lain sisi, Pahri labih suka membaca surat....kabar lampu merah.
Mungkin, hanya beberapa orang yang tahu, hasrat terpendam seorang Pahri adalah ingin memutihkan kulitnya. Semenjak SMP, dia sudah memiliki hobby untuk menggunakan pelembab muka ternama, krim sun block tersohor, dan bedak pupur terkemuka. Saya pernah menjadi saksi, ketika itu saya ingin melaksanakan shalat dhuha di mushola sekolah yang mengharuskan saya melewati WC pria, dan terlihatlah sosok seorang Pahri yang berkulit keling sedang menggunakan lotion anti nyamuk di ujung hidungnya, ketika saya tanya tujuannya, "agar hidung ini terlihat lebih putih merona..." ujarnya sambil bergumam.
Waktu itu saya masih tidak mengerti apa yang dimaksud dengan jawaban Pahri akan pertanyaan yang saya ajukan. Namun beberapa tahun berikutnya, setelah iklan Tje Fuk dan Djah Wa meraja lela di stasiun telivisi swasta, saya pun menganggukan kepala berkali-kali tanda setuju dengan apa yang dikatakan oleh teman saya yang kulitnya tidak putih itu.
Lulus dari SLTPN 4 Bogor, kami pun terpisah jarak, waktu, dan ruang. Saya masuk ke sebuah sekolah negeri yang masih terdapat di kota Hujan juga, sedangkan Pahri lebih memilih untuk membekali masa depannnya kelak di dalam hutan, mengikuti pelatihan perang para mujahidin. Salah satu cita-citanya yang pernah disampaikan pada saya adalah, menjadi 'pengantin'-nya Jaemi sambil meledakan hotel Sheraton Jogjakarta. Cita-cita yang sungguh oh fantastis!
Kami bertemu lagi, ketika saya harus mencari ilmu yang lebih mumpuni di belantara ibu kota dan Pahri harus menyelesaikan program research terhadap gedung mana yang akan menjadi sasaran bom berikutnya. Saya sudah berkali-kali memperingatkan beliau, bahwa apa yang ada di otak dia tentang gambaran surga itu salah, karena Nabi Muhammad mengajarkan kita untuk berbuat kebaikan bukan untuk merakit bom-bom-an. Tapi Pahri tetap saja ngeyel dan akhirnya saya pertemukan dirinya dengan salah satu ulama terbesar pada masanya, Alm. Gusdur di kantor pusat NU di kawasan Cikini.
Tersadarlah Pahri akan kesalahan yang ia perbuat, ia memohon ampun kepada Tuhan sesegera mungkin. Sekarang, Pahri pun lebih gemar mengisi waktu luangnya dengan berdiskusi tentang agama dengan para santrinya, hobby dandan-nya ditinggalkan jauh-jauh dan sesekali dia mentraktir saya siomay Cikini menggunakan uang sumbangan masjid.
Buat Pahri: Semoga sukses mencari penghidupan di jalan yang engkau pilih sekarang. Salam buat Ajuuueeeeng.
P.S: Kalau sama temen gue yang lain, gue ingin mengadakan reunian dengan melakukan, Lombok trip, Bali trip, Singapore trip, sama elu mah cukup Cikini trip aje~ Semoga di Cikini trip berikutnya, lu bisa mengabadikan moment antara gue dan Moch. Ali Z.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar