Minggu, 06 November 2011

Sate. Sate 200 tusuk.

Hai teman-teman kelompok PENCAPIR (PENgamat CeritA-cerita PIeRa!), gimana nih satenya? Aduuuuuh kalau lagi makan sate gini téh, saya suka inget sama scene-nya Alm Sussana di film Sundel Bolong.







Aaaaah, pokoknya eta téh the best indonesian movie scene I've ever seen lah. Bener-bener dedengkotnya pelem hantu. Jadi kepikiran sama percakapan yang pernah saya lakukan bersama seseorang yang pernah mengisi relung hati namun menguras air mata sampai mati, (yak siapa lagi kalau bukan….) Morgan SM*SH! *Keprok-keprok!

Kekekeke. Becanda deng.

Jadi ya, waktu itu malam sudah tiba, gerakan peristaltik di lambung saya berjalan beriringan dengan kedua pelupuk mata ini yang tak bisa lagi diajak kompromi. Mungkin bagi orang awam, akan merasa aneh melihat saya yang akan seperti pasien yang terkena ayan, jika sedang kelaparan. Maklum mata saya bakal berkedip berkali-kali, jika si lambung mulai memainkan orkestranya.

Micahel Kim Sudlambong (bukan nama sebenarnya, red), yang kemudian akan lebih kita kenal dengan sebutan Bang Sud, merupakan salah satu teman kuliah saya yang baik, tidak sombong, patuh kepada kedua orang tua, gemar menabung, dan suka maenin bulu keteknya.

Dia pernah bilang, "jika ku tak plintir-plintir bulu ketiak ku ini, rasanya ide untuk mengerjakan tugas akhir ini tak akan muncul, kawan!" dengan logat Batak yang sangat kental, se-kental susu kental manis cap Nona.

Dompet hitam yang saya beli di sebuah fashion outlet di kawasan Tajur, sudah meraung minta disulam. Kantong kain tempat saya biasa menyimpan koin sudah terlalu penuh, namun setiap selipan untuk menyimpan lembaran uang yang memiliki nominal lebih tinggi, tak kunjung terisi juga.

Bukan…Bukan, si Papap atau si Mamam itu tipe orang tua pelit nan gemar membuat anaknya menderita dan terluka parah laksana Mischa yang senang melukai Fitri hanya karena ingin mencicipi kemewahan harta si Farel. Namun, saya ini lahir dari keluarga pegawai negri sipil yang sederhana, sehingga sering muncul rasa tak tega untuk meminta jatah uang lebih kepada mereka.

Mengetahui keadaan ekonomi saya yang tak seberapa itu. Bang Sud, mengajak saya untuk mengunjungi sebuah warung sate, dekat kampus saya. Aaaaah, andai saja Bang Sud ini berwajah tampan, mungkin saya sudah menyerahkan jiwa dan raga saya untuk beliau. Ngggg, Bang Sud ini emang 11-12 ama Nyi Roro Kidul, meraka sama-sama suka menyerap jiwa para pemuda dan pemudi yang jarang mandi, kaya saya ini.

Sesampainya di warung sate itu, saya memesan sepotong lontong dan lima tusuk sate kambing. Tubuh gempal Bang Sud terheran-heran melihat menu makan saya malam itu. Padahal dia tahu kalau saya sedang lapar tingkat dewa.

"Cuma lima tusuk? Lagi diet ya? Pesen yang banyak dong!" Tanya Bang Sud.

Saya hanya menggelengkan kepala dan menjawab, "Nggak ah, takut kaya Sussana….."

Aaaaah, andai aja Bang Sud tahu hobby-gagal saya sebagai tukang ngepet. Maklum, ingin rasanya jadi kaya raya tapi kalau inget dosa??? Siiigh~ Emang ya babi itu cuma lucu jadi musuhnya Timmy, si embe leutik di Shaun The Sheep.

Saya menunggu Bang Sud menghabiskan 20 tusuk sate kambing dan ayamnya plus empat buah lontong yang dia babat  tanpa tersisa, bumbu kacang yang tersisa pun dia habiskan menggunakan tiga bungkus kerupuk kulit yang memang dijual sebagai peneman makan sate yang dijual sebagai menu inti.

Lalu, apakah yang menjadi peneman makan sate lima tusuk-nya yang mulia Teteh Piera?

Cukup tiga sendok kecil sambal dan kecap manis merk ABC oplosan. Merk boleh ABC, tapi dapat saya pastikan isinya bisa jadi DEF atau malah XYZ. Ya, pedagang mana yang tak ingin mendapatkan harga lebih murah? Toh, mau semahal apapun, kecap itu warnanya tetap hitam. Lain perkara, kalau di dalam cairan pekat ABC tersebut ditaburi bubuk emas murni 24 karat.

Dengan lemah gontai, saya membuka resleting tempat menyimpan recehan di dompet saya. Dengan malu-malu tapi teteup unyu, saya menghitung koin-koin yang ada. Alhamdulillah, kembalian dari mamang tukang jualan cuanki yang saya beli tadi pagi, bisa membayar makan malam saya kali ini.

Namun, dengan gagah-berani-dan-tanpa-narkoba, Bang Sud menghalangi niat saya untuk membayar. "Biarkan aku saja yang membayar….Konon katanya Tuhan bersama mahasiswa Tingkat Akhir, kawan!"

DEM! Tau gitu tadi saya pesen lebih! "Sate. Sate 200 tusuk. Makan di sini. Biarin! Mentahnya juga enak! Soto! Soto ama pancinya! Sama pancinyaaaaaaaaaaaaa!"

Then, seperti biasa nih sob, di setiap akhir postingan, saya akan berusaha untuk menyelipkan kutipan rasa syukur yang biasanya sudah di post sama temen-temen di FECESbook-nya kelompok PENCAPIR (PENgamat CeritA-cerita PIeRa!). Yang beruntung kali ini adalah, Rino, si pelaut galau yang sekarang lagi terombang-ambing di lautan Norwegia sono.






Yups biar dikata rumput tetangga lebih hijau, tapi rumput kita mah terbuat dari emas! Always be grateful with what we have ya mas beroooow :) Thank you to Rino for reminding us.


1 komentar:

  1. Astaga... Bang Sud itu... udah makan sate kambing, pale saus kacang (pastinya), diakhiri pula dengan kerupuk kulit (ini rambak, 'kan?)... *shock* Itu semua memang enak banget... tapiiiiii efeknya bagi kesehatan buruk, Bung! *kalo dimakan kebanyakan* :D

    Eh, makan sate kelinci aja yuk. :D

    BalasHapus