Rabu, 06 November 2013

kok-muter line: Bojong yang tak se-Gede namanya

Suara teriakan seorang ibu muda yang merasa kepanasan akan penuhnya gerbong kereta Senin pagi itu membuayarkan lamunan saya.

Seorang petugas kereta api terlihat dengan sigap menyuruh salah satu penumpang yang sedang duduk untuk memberikan kesempatan pada sang ibu muda untuk beristirahat di tempatnya.

Dengan keadaan yang sangat penuh tersebut, saya hanya dapat mendongakkan kepala saya. Kereta baru saja sampai Stasiun Bojong Gede, namun luas ruang stasiun-nya tak se-'gede' namanya.






"Hmmm, penuhnya gerbong ini mulai menyaingi penuhnya hati gue nih….." Umpat saya dalam hati.

Senyum yang semenjak tadi saya tahan, akhirnya mengembang juga.

Kemarin saya bertemu dengan sosok ulat berbulu genderuwo. Sungguh ingin rasanya berteriak kesenangan melihat bayangannya tepat berada di ujung kaki ini. Namun, semuanya harus ditahan dengan adanya rasa malu yang terus ada di kepala.

Ah, coba saja, saya berani menyapanya terlebih dahulu. Andai saja saya bisa memberikan senyuman termanis untuk menyemangatinya. Jika saja, saya lebih berinisiatif untuk membuatnya tertawa ketika sedih melanda. Kalau saja saya bisa mengutarakan perasaan ini.



***



"Di Jakarta ini ada 10 juta manusia, dan setengahnya adalah laki-laki. Bayangin déh, lo ini adalah bibit sperma paling unggul di mata gue dari lima juta lainnya. Bayangin! Lima juta! Lo nggak usah ikutan lomba makan kerupuk setiap 17-an, lomba nyanyi ala idol, lomba marathon kekinian, kata orang-orang sih, malaikat juga tau siapa juaranya….."



***



Mulut itu terkatup. Rapat. Tanpa jeda.

Senyum kami beradu lekat. Dia berdiri di sebrang sana. Saya terdiam di sebrang sini. Kami saling menganggukan kepala.

Tangan saya mengepal sedikit. Ingin hati menariknya sampai ke hadapan, memamerkan rasa kami yang memang sudah ada semenjak pertama kali bertemu.

Sedikit lambaian tangannya saling menguatkan niat kami untuk tetap membiarkan semua angan itu tetap terlihat nyata.

Saya berikan kedua jempol tangan, berharap dia juga mengerti bahwa kami tidak mungkin dapat memiliki untuk saat itu.

Saya biarkan perasaan itu mengejewantah di udara luas. Ia biarkan keinginan itu mengendap di setiap hentakan kakinya.

Dengan langkah yang cukup berat, saya putuskan untuk kembali ke meja kerja dengan seluruh tumpukan kertas penuh dengan tugas yang harus saya lakukan. Well, this is when my money comes from, saya menarik nafas panjang dan terdengar hembusan nafas panjang lainnya di belakang saya.

He stays there.







Mulut itu terkatup. Rapat. Tanpa jeda. Senyum kami beradu lekat. Dia berdiri di samping saya. Saya terdiam di sampingnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar