Minggu, 04 Maret 2018

#coolturead: H - 17

Masih bersama kembaran Raline Syah….

Kembaran Raline Syah???

Iyeeee!

Itu sayaaaa…Ahahahahargh! Minta disleding Wayne Rooney banget yah! Abisan Teteh Raline ini bener-bener idolaque. Udah mah cantik, pinter, dan temennya Seungri Bigbang, ya Rab, kapan atuh saya bisa berteman ikrib dengan oppa-oppa Korea kesayanganku ituh???

Selain bersama kembaran Raline Syah, di postingan ini juga, kita masih ditemani Teteh Isyfi, si calon PhD!

Seperti janji saya, di tulisan sebelumnya saya punya cerita seru tentang background dan pencapaian dari Teteh Isyfi yang bikin saya pengen wandering, "kok bisa orang super keren kaya gini baca blog gue????"



***


"Oh iya aku boleh cerita dikit ya Vier….Ini agak relate sama yang sering kamu posting sih…

Kalau aku baca tulisan blog mu, in general, pesannya lebih ke; we have to be patient, we have our own time for success, gitu kan ya?

Dan itu emang bener sih Ceu…

Kaya kamu bilang, kenapa justru cerita kamu di commuter lebih dilirik penerbit ketimbang cerita kamu di Italy. Atau cerita buku kamu yang sempat di-postpone beberapa tahun. Nah, aku tuh pengen banget nulis fiksi, tapi nggak belum bisa sampai sekarang….

Tapi, akhirnya dengan kekuatan bulan kuasa Tuhan, aku bisa juga publish tulisan aku walaupun jenisnya non-fiksi.

Ya begitulah Ceu, kita lahir dengan talent yang berbeda. Walaupun kita seusia Veronica Roth yang udah mulai nulis Divergent sejak kuliah dan gue mulai nulis cerpen mading dari jaman SD, tapi nasib dan jalan hidup kami berbeda.

Dia penulis fiksi yang dikagumi jutaan manusia, sedangkan gue penulis non fiksi yang hanya beberapa orang aja yang tertarik untuk baca. 

Dan kenapa publikasi pertama gue adalah ketika gue berusia 30 tahun, alias baru dua tahun yang lalu. Sedangkan Veronica Roth bisa lebih awal dan lebih booming. Ya, kan kita masing-msing punya fase yang beda, nggak bisa disamain.

Eh iya, aku sempat booming juga sih di 2016, tapi nggak se-booming Divergent….

Aku menang essay berbahasa Inggris nasional, juara dua. Ini rasanya mungkin kaya dirimu jadi bintang iklan indomie. Jadi, dulu aku kagum banget sama terori elit. Nah, pakar teori elit kontemporer kan Jeffrey Winters yang juga seorang Indonesianist. Kebayang dong, aku nge-fan sama Jeffrey di 2013, terus 2015 Jeffrey milih essay aku untuk jadi salah ssatu pemenang!






Itu publikasi pertama aku. ISRSF's best essays 2015.

2016 adalah masa yang berat buat aku, people started knowing me. Some appreciated me, some underestimated me.

Ya, wajar sih dibilangin tulisanku itu mediocre, ranah riset yang mediocre. Tapi buat aku, yang penting tetep istiqomah nulis dan bisa dipublish di jurnal-jurnal, in privilege yang aku dapat setelah menang lomba essay tersebut.

Ya, gue kira itu udah hukum alam sih, semakin lo naik level, semakin tinggi ekspektasi orang, dan semakin sering pula denger orang nyinyir….

Dan aku juga setuju sama statement-mu Ceu, tulis kita itu reminder buat kita sendiri. Misal, aku ngomongin tentang leadership yang bagus tuh dengan role modeling, eh tiba-tiba pas aku jadi leader, aku malah jadi seorang pemimipin yang galak dan arogan. Nah, tulisan aku tersebut bisa jadi reminder, supaya aku nggak arogan dan represif.

Kalau soal orang nyinyir, aku belum kece banget sih handle-nya. Aku sering aja nangis di malam hari and screaming why me????? God, why me???

Yah bayangin aya ya Ceu, kita berhadapan dengan reviewer atau dosen yang bilang; riset kamu tidak menunjukan kebaruan, ada yang tidak beres dengan landasan teori, eh ditambah orang-orang sekitar pada nyinyir; 'lo kan cuma  bayinya professor lo! Bisa apa sihlo tanpa those distinguished people??!'

They don't know what we been up to. Mereka taunya cuma, 'lu mah enak!'

Kata siapa enak??? Jadi, grad student penerima beasiswa, walaupun kita dapat funding, tetep aja kita hidup bersahaja.

Kan, dulu ngetrennya ada selebtwit yang bilang kalau penerima beassiwa itu hobinya jalan-jalan aja, aku mah jalan-jalannya dari Stasiun Cikini ke Salemba atau jalan dari LBI Depok ke Margo, biar nggak berkurang saldo go pay. Harus irit-irit buat test IELTS.

Ya, segratis-gratisnya beasiswa teteup aja sekolah butuh kapital. Duh ini gue jadi curhat yaa…ahahahaha!"


***



Nah, sekiranya begitulah sekelibat kisah dari Teteh Isyfi si calon PhD! Ayooooo kita aminin bareng-bareng! InshAllah tulisan adalah doa!

Gila yah, satu-satunya Jeffrey yang saya kenal itu Jeffrey Woworuntu, suaminya Ruth Sahanaya. Aduh, ketauan deh saya angkatan berapa.

Oh iya buat yang penasaran sama tulisan non-fiksi yang dibuat sama Teteh Isyfi, bisa cek salah satu tulisan beliau yang berjudul; Information and Communiation Technologies for Women's Business: Prospect and Potential in Indonesia yang dikeluarkan oleh Kemendag RI.






Atau tulisan beliau lainnya yang walaupun masih berstatus paper candidate di IJIS, yang berjudul; Divulging Women Leadership Through Girls In Tech Indonesia.






Bener-bener Afghan nih Teteh Isyfi! SADIS! Judul jurnalnya udah kece banget! Ya Allah, tipe-tipe cewek kaya gini mah nggak mungkin makan cilok pake bumbu aida campur saos yang katanya dibuat dari cabe busuk, yang sering saya beli di pelataran Stasiun Cilebut!






Buat yang penasaran sama sosok Teh Isyfi, ditunggu kehadirannya di acara #coolturead, tujuh belas hari dari sekarang, tepatnya di tanggal 17 Maret 2018 nanti, di Kolaborato Co-working space di Bogor!









2 komentar:

  1. Anonim5.3.18

    I've been surfing online more than 4 hours today, yet I
    never found any interesting article like yours.

    It is pretty worth enough for me. In my view, if all webmasters and bloggers made good content as you did, the internet will be
    much more useful than ever before.

    BalasHapus
  2. Anonim6.3.18

    It's going to be end of mine day, except before finish I am reading this fantastic piece of writing to increase my know-how.

    BalasHapus